Kamis, 12 Februari 2015

Puisi Religius





Sang Revolus Menjenguk Tuhan

Tangkai angin menjulurkan sang pencerah menemui Rajaraya di singgasananya
Didampingi sosok tegap bersayap emas penuh cahaya indah kemilau
Beranjak dari kubah melingkar menuju Aqsha dan melejitkan sang revolus ke langit tujuh
Menyibak tabir menuangkan sendu ronta kalbu penuh aura tanya
Namun semua terganti sekelebat sosok dengan mahadahsyat menjamah menyuguh perintah

“Berdirilah lima puluh seharimu!”,

Lalu sang revolus turun dengan sergapan pertimbangan,
setumpuk aspirasi membuatnya kembali dengan yakin besorban harap mohon polos
Hingga langit melotot menyaksikan pertunaian tugas berat yang putus pada lima saka

Lima anugerah
Lima tenteram
Lima sejahtera

Lima adalah kemilau suci ronta seteguk surga dalam secangkir tanah
Tanah yang kami sebut bumi, dunia, alam, jagad, arga atau apalah serapahnya
Dari tangan sang revolus pencerah kami,
Terimakasih atas langkah petunjukmu.





Rinai Tasbih Terpercik

Semesta mencairkan bukit es mengalirkan senandung munajat atas rahmat
Titik-titik hujan mengisyaratkan kuasa tiada tara menyemburkan kegalauan akan murka-Nya
Tangan beraroma nirwana mengusap kepala yatim berselempang kahausan meneteskan sesal
Senja ini akankah berhasil mengantarkan maha suci-Nya pada kami
Bila hujan tak berhenti maka nafas ilahi tak terlantun, gelaran tasbih berkadar hambar
Kilau kesucian masih terpicing dalam bingkai takbir jalanan tharikat
Segala upaya terasa binar dalam seuntai doa mengharap kehadiran para malaikat
Lentera kecil mengusik gerimis dan mengancam badai diatas sajadah lusuh

Ya Tuhan
Kami bersandar pada amanah-Mu mendarmai katauhidan-Mu menjalani kodrat kami
Sesampai ada anak adam memercikkan hujan tasbih lirih dirumpun ilalang atap rumahnya

Subhanallah,..
Subhanallah,..
Subhanallah,..

Terdengar mengusaikan derita mengundang sesuap semangat dan ketegaran
Bersambut bagai tarian Jibril menanti hujan masa kelana



Limo ke Villa, Bekalnya???

Kaku menjelujur diatas dipan kayu lapuk berbalut kain suci amat dinanti
Menanti penantian panjang namun nian nampak tak bisa nanti-nanti
Masa dimana detik tak mungkin ditawar, menit tak kuasa ditukar dan jam tak boleh dipinjam
Saat semua sirna merana tiada daya apa-apa, hanya haru dan air mata yang nyata

Empat tangan menyangga tubuh mengantar masuk dalam Limosin paling canggih
Limosin dengan kap kayu berjuntai kain hijau beraksen rangkaian bunga
Limosin dengan empat kolega sebagai rodanya
Dengan secepat kilat mengantarkan ke villa eksklusif yang mini namun vasilitas nomor siji
Villa tercanggih dengan luas dua kali satu meter namun tahan badai, topan dan anti gempa

Disanalah kita menanti presensi dari Sang Kuasa
Namun sayang, disana kau tak boleh membawa apa-apa
Hanya kain menjuntai yang mulai kumal itu saja,... ya itu saja!
Betapa limosin yang canggih dibawa pulang sopir pribadi kembali ke garasi
Garasinya dekat dengan villa,..tetapi kau TIDAK boleh dan TIDAK bisa mengendarainya

Seberapapun kau mencoba, itu semua sia-sia
Apalagi cuma limosin itu, uang proyek yang bengkak di depositomu TIDAK bisa kau ambil
Kesepuluh mobilmu yang lain yang baru dibeli setelah pasir dan beton masuk perutmu
Semuanya tak boleh masuk villa.
Limo, uang dan mobil tak boleh!

Cuma tiga punyamu dan memang Cuma itu yang paling jadi butuhmu
Sekantung amal, sepercik taubat dan SK masuk surga
Itu. Hanya itu dan cukup itu. Cukup!

 





Puisi Tragisku



Suka-suka Saku
Selembar, dua lembar, delapan lembar, lima belas lembar
Pedangnya masih lurus, kumisnya masih menjelujur kaku
Yang dua ini masih saja dipanggil pangeran dan bersorban
Tetapi impianku punya proklamator mengapa tak pernah kesampaian

Tetap saja Oto Iskandar yang merajai sakuku
Aku mau Pak Karno hadir ditemani Pak Hatta yang ada disini bukan pahlawan yang itu
Aku ingin memegang kemerahan yang menjanjikan itu
Tetapi apa daya dan kuatku aku bukan direktur perusahaan
Juga bukan pejabat pemberani yang menelan pasir dan besi

Tetapi apakah aku tidak boleh punya proklamator sendiri
Sampai pusing aku berlari kesana kemari mondar sana mandir sini
Untuk nasi basi kiriman Pak Menteri dan sebakul batu yang disuruh membuat jembatan pagi
Aku takut Pak, sudahlah aku pasrah saja
Telanlah kami karena uangku memang jatah lebih dari iblis dalam peti



Kasih Meradang pada Sebilah Pedang

Pesanmu adalah menjaga Kyai Lawu tetap mandi sumur tujuh ditemani asap dupa kala
Derik lirih dan gemericik kerik di gagang keris itu adalah tanda kejayaanmu
Sambil kurengkuh perutku yang busung karena ulahmu,
Kusapa dia dengan siraman lembut dan wangi dupa setiap rajaraya bertahta
Darah yang tumpah memang tak mugkin kau tampung lagi
Seratus prajurit yang mampus tak pernah bisa kau tebus
Namun seteguk darah dari bilah pedangmu telah membayar pertempuran maha kelam
Panjimu pulang dengan tunggul berkibar nanar penuh pancaran kemenangan
Sampai kusambut panglimaku dengan senyum ikhlas tanpa belas

Namun sorot matamu picing mengisyaratkan penolakan kasar
Anehkah dengan perutku yang besar?
Sebelum perang, bukankah mereka telah kau tanam padaku tepat dibalik pusar?

Kutahu kau satriya pilih tanding yang berbudi tinggi berakhlak suci
Tapi istrimu bukanlah pesong layaknya yang kau timpakan itu
Martabatku masih melekat kuat dibalik kain pembalut dada yang nyata
Tetapi mengapa kau ragukan kesetiaanku?,...
Mengapa kau tampik bahwa bocah ini adalah buahmu?

Sampai hati kau wahai satriya berhati labu
Menumpahkan ludira seorang ibu pembawa trah keturunanmu
Tumpah ruah oleh pedang bisu bekas pertempuran kelabu
Sungguh nirwana menolakmu, bumi mencerca lakumu, langit mengutuk atasmu
Kau sungguh bukan suamiku.





Raja Tak Bertaring Lagi
Gamang belantara disusup remang ketika rajaraya sirna
Sirna bukan musnah tak kembali, tetapi bakal bertengger lagi esok hari
Menilik sorot mata tajam dibalik rerimbunan dibasuh tetes liur tanda kelaparan
Menetes,, menetes,..tetes
Makin deras ia menetes dan makin bancar bak air bah mendera
Auman menggelegar di seantero pelosok rimba menciutkan nyali setiap mangsa

Sesayat luka telah didera pada pohon Kina tanpa dosa tanda lampiasan perut hampa
Gagak dan dara buyar menggelepar terusik ulah sang pemangsa ganas itu
Semut tak mampu menggumam, rayap tak kuasa bersyair, tikus tak bisa berkata
Karena takut nyawa akan meninggalkan tubuh tanpa bulu tanpa ragu

Beringas cantas melompat dari semak ranggas mengancam kami
Siapa yang akan menolong kami? Apakah kami akan mati malam ini?
Rasa takut memucuk di ulu hati, ngeri mendarah basah mendagingi api
Kami telungkup di balik misteri maut pasi

...
Ketakutan kandas benam tercekik pekik cekikik pipit manis
Belibis ceriwis disanjung desis lirih si jangkrik lurik
Raja kami tak kan mengunyah kami
Dia tak sekuat dulu lagi
Dia bukan pengoyak rantai makanan lagi
Ompong melompong tinggal gusi
Hahaha,.. akankah kau jadi perumput, Gusti?...
Perumput mirip domba dungu berdasi
Sungguh ironi basi, kau raja maut yang tak bertaring lagi
Maaf bila mangsamu kini berani karena wibawamu sudah mati
Mati,..mati,..mati




Sapi Berkrama

Sapi adalah binatang bertanduk yang selalu tunduk
Tunduk pada cambuk lusuh petani bercaping lusuh
Mengabdi menarik bajak dikeberkahan hamparan ladang
Menghamburkan liur tanda semangatnya tiada udzur

Sapi adalah putih, seputih gumpalan susu yang disandangnya
Putih mengisyaratkan sucinya niat dan kejujuran nuraninya
Berkelakar lapar ketika petani menyantap bekal
Mendengus kasar ketika gerombolan lalat menyambar pusar

Sapi adalah binatang suci
Sesuci hati nuraninya yang mengalirkan rona Mahayana
Pencerah umat penurut kejayaan Dewata Hyang
Mendharmakan diri dalam lumpur, namun mencuatkan kasih nan luhur

Sapi adalah hidung tertindik tali kekang
Yang selalu menurut kemanapun tali dirancang
Meronta tiada daya karena telah dicerca
Lari tak bisa dan hanya menurut dan menurut saja
Sapi, oh sapi
Kasihan sapi.
Puisi deskriptif saat Apus. 2 Desember 2014


Siapa Aku?

Siapa aku?
Orang yang hari ini menyapamu dengan wajah sayu dan lugu
Mata yang dingin dan penuh tanda tanya bisu kadang buntu
Tangan yang menjabatmu pagi ini dengan seratus semangat
Kaki yang menendang pantat tetapi hanya agar kau hangat

Siapa aku?
Yang sore ini bingung termenung di persimpangan gang kecil
Makhluk yang berwajah kumal karena seharian penuh cuma bawa sebotol air mineral
Yang biasanya hanya berkeliaran di sekitar riuhnya orang tanpa ada misi yang pasti
Manusia yang kau sebut teman dan kau percayai atas segala keluhan

Siapa aku?
Sosok yang malam itu menyelinap ke kamarmu, melompat lewat ventilasi penuh debu
Si usil yang kau pukul dan lempari buku padahal datang karena undanganmu
Bengal yang sebenarnya jujur tiada udzur di sanubarinya
Kini mulai berubah karena gesekan realita fana yang mempesonanya

Siapa aku?
Yang kata temanku dibilang mulai berubah jadi hantu
Orang yang dulu lugu ini sudah jadi orang baru
Cacian saat itu membuat diri ini bisa berdiri
Kau akan sadar ketika mungkin
Esok pagi ku tak disini....
Bukan MATI, tetapi pakai dasi dan jadi uswah di negeri ini.


Tangan Hampa

Dari uluran pertama terhambur kesemuan dan nuansa sayu
Dijamah kehampaan sembari disayat ketakutan
Dari lorong-lorong kejam di ujung jalan itu
Aku, kau, dia, mereka, kami dan kita adalah sama
Aku, kau, dia, mereka, kami dan kita adalah satu

Tangan ini penuh dengan aroma kebencian saat kujejaki lajur kota mati
Tanganmu terlihat sempurna lagi rapi waktu kau hadir disampingku
Tangannya seperti membawa gada besi penuh amarah dan keangkuhan
Tapi,..
Tanganku, tanganmu, tangannya dan tangan mereka adalah sama
Tanganku, tanganmu, tangannya dan tangan mereka adalah satu

Hari ini aku sadar, bangun serta menyeruak dari bilik-bilik kesengsaraan
Aku mengerti betapa hidup ini telah dijarah tangan-tangan besar dari kursi disana
Nikmatku telah dihisap mereka yang berdasi dan berkantong tebal berotak bebal
Tikus tanah, tikus got, tikus putih dan tikus-tikus busuk itu
Menjijikkan tapi berlagak sopan anggun penuh harapan
Tahukah kau akibat ulah mereka?
Tanganku, tangannya, tangan kami dan tangan kita kini sirna
Tanganku, tangannya, tangan kami dan tangan kita kini hampa