Tongkang
Perdamaian
Senjaku berpulang tenang tanpa bimbang
Tongkang yang tertambat dilepas liar berburu
tongkol, udang dan teri
Sebagai sang mahadaya membaur ditengah lautan gamang
Tongkangku bukan umumnya tongkang,
Tongkangku tongkang perdamaian.
Ikan menghampiri udang mengejar
Teriakkan semangat perdamaian menggelegar
Sampai janji-janji terpenuhi,
Senandung asa bernafas pasi ditelan ombak Losari,tongkang
ini telah penuh dengan aspirasi.
Ribuan tanya kecil yang membutuhkan jawaban para
wakil
Mereka yang berdasi panjang yang tertegun tak punya
aksi
Tongkangku,,.
Melajulah walau wakilku hanya melugu dan pura-pura
bisu
Serukan semangat kita bersama alunan ombak semerbak
dan camar liar
Kita adalah aset bangsa, bagai tongkang perdamaian
tak tersalurkan
Hanya kuasa dan kebesaran Tuhan yang mampu mencabut
kutuk penjarah
Bersihkan bangsa laksana jala tongkang yang
membahana bertabur asa
Ironi
pelaut
Tarian ombak serapahkan amarah disertai
serpihan amukan patra
Angin laut hari ini terasa panas karena
menghembuskan iri dengki berakar kuat
Ikan kami berbau busuk sebusuk hasil
pemilihan kail pangkat kemarin
Sampan terkulai dayung tergeletak di
bibir pantai seperti tinja Arok.
Adil, imbang dan rata sudah tak terasa,
murah menerpa terjual begitu saja
Jalaku sudah susah menjaring kata, tapi
tengkulak membuka harga semaunya
Kail ini penat menancap di ufuk kalimat
manis, tapi dia tak melihat mahakarya
Tengkulak-tengkulak berbaju baik berhati
picik
Tongkolku dinilai nol
Tunaku dinilai barang sisa
Teriku dibilang basi
Mata kalian buta, hatimu buram bisu biru
berbangkai basah
Kujual ke pasar tak mahal harga dipancar
Kenapa manis tak kuteguk seperti dulu?
Aku bodoh.
Aku kemana?
Kini pantai memasir, laut berair, langit
berawan, angin berhembus, api menghangus dan apa?
Ayam berkokok, anjing menggonggong,
hutan memohon, bukit menggunung, dan baaahh,..!!
Semuanya masih berkelakar onar tanpa
sesal,
...Tapi aku tidak.
Dodasi
Bodong
Tangga karma menanjak ke angkasa di ufuk kebajikan
Telur mati menumpahkan sesal tajam menampar jiwa
tanpa ampun
Mengapa mujur mundur mengalur menyulur ajur kasur
takur?
Mengapa untung buntung membusung glundung
membumbung?
Aku tak terima dengan keadaan ini
Aku muak pada orang-orang pongah berlagak sastrawan
busuk binal itu
Mampukah mereka menghargai karya sebaik Ayodya
Topeng coreng tak bertuan bodoh keji mengaku teliti
penuh apresiasi
Bohong,..
Bodong,..
Kosong,..
Mata kalian hanya melek sebelah
Tidak pernah mengerti mahakarya dan pancasatya
Busuk mambu kasut biduk matamu buta.
Lihatlah karyaku jangan memuji orang dibalik
tangisku
Kau dodasi sastrawan bodoh, seharusnya AKU.
Kamu dodasi sastrawan borok, kudunya AKU.
Dirimu dodasi sastrawan bodong, selayaknya kan AKU.
Kowe DODASI BOSOK, aku harusnya aku kudunya aku
selayaknya aku, BUKAN dia!
Sarakata
Sianida
Sepercik sianida merambat diantara jemari tanganku
di kamar gelap itu
Bergulung film kucel hitam bersimpuh kecut minta
dicuci kemari
Revanol, ethanol, alkohol atau apalah aku tak kan
peduli
Sesosok foto membuncah dari klise yang disapu penasaran
Tiga wajah, dua persaingan dan satu pemenang.
Porselen kubanting
Aku kecewa atas marakarma kasasi sastra yang tak
jelas
Terima hasil traumapun mijil dari jendela kerikil
mungil
Aroma kekelahan begitu menyengat, aku larut dalam
sianidaku sendiri
Aku minum saja sisanya dan kukatakan
Marasaya katatrana wahai dunia, sarakatana mantrai
kami.!!
Basi kalian.
Sangsaka Mulai Ternoda
Pekikan masa lalu masih nampak jelas di kelopak mata
ini
Tetesan darah merah membasahi seantero jagad juga
masih nyata teringat
Dan kini bambu runcing telah jadi seruling, senapan
telah jadi barang kelampauan
Kita punya sangsaka,.... ya sangsaka yang berkibar
itu!
Tetapi mengapa segerombolan curut mengitari
sangsakaku?
Mengapa tawa mereka amat riang mengusik telingaku?
Oh,..sudah jelas sekarang!
Kalian para punggawa picik yang merampok kami minggu
ini
Itu para mafia yang berpesta pora di atas aliran
keringat kami
Sungguh bodongnya bangsaku, yang menindas tapi tak
tahu malu.
Kata bapakku, dendam itu tak baik disimpan. Kalau
begitu mengapa tak kita balaskan?
Mendengar jawabku pelototan bapak diringi tamparan
kejam bersarang di bawah mataku
Tetapi lihatlah, Pak.
Pantaskah kita tak membalas kesumat ini pada pemimpin
sundal yang tak tau diri?
Pantaskah kita pangku tangan gemetar ini padahal
mereka tumpuk deposito dibawah dasi?
Rasanya tidak, Pak. Saat sangsakaku berkibar ku tak
mau lihat curut-curut itu!
Saatnya kucabut Monas tuk kuhempaskan pada kepala
botak peminpin tak berotak itu
Ya, benar kan, Pak.
Bila tanah timur memuntahkan sungai emas sampai kaki
Jaya Wijaya
Bukankah kita boleh mencicipi barang seklumit rasa
muntahannya
Tetapi kulit hitam itu diusir dari rumah megah dan
tak pernah diurus departemen khusus
Pabrik raksasa berlabel Freeport, ternyata masih
berdiri tegak dan kokoh disana
Para penampung muntahan tanah timur yang tak boleh
kita jamah
Masih gagah bertolak pinggang di barekade terdepan
Perut hitam lapar menbuntal segumpal angan disamping
gerbang besar selamat datang
Angan yang memimpikan bangku, buku dan sesuap nasi
ceceran tentara
Anak negeri yang dihajar zaman dan dinistakan para
konglomerat sasar
Sangsakaku bermahligai bercak, Sangsakaku berwarna
cokelat lumpur pasar
Ironi malang para pejuang yang tak pernah dibayar
mahar yang mahal
Malah diganjar pendustaan transparan bak serigala
hutan kelaparan
Kita tak pernah sadar arti kemerdekaan, kita bangga
makan daging sesama
Busuknya Indonesia,...
Busuknya Indonesia,...
Hanya kesucianmu wahai Mahadaya yang mampu singkap
kabut malang ini
Bersama lantunan nada sumbang “Syukur” yang tak
berarti.
(Nanang,
24 Oktober 2014 Kebentur tugas PKn)

bagus sih
BalasHapus