Jumat, 06 Februari 2015

Puisi Bertema Pemberontakan Diri



Tongkang Perdamaian

Senjaku berpulang tenang tanpa bimbang
Malam laksana mercusuar penerang jalan nafkah kami
Tongkang yang tertambat dilepas liar berburu tongkol, udang dan teri



Sebagai sang mahadaya membaur ditengah lautan gamang

Tongkangku bukan umumnya tongkang,
Tongkangku tongkang perdamaian.
Ikan menghampiri udang mengejar
Teriakkan semangat perdamaian menggelegar

Sampai janji-janji terpenuhi,
Senandung asa bernafas pasi ditelan ombak Losari,tongkang ini telah penuh dengan aspirasi.
Ribuan tanya kecil yang membutuhkan jawaban para wakil
Mereka yang berdasi panjang yang tertegun tak punya aksi

Tongkangku,,.
Melajulah walau wakilku hanya melugu dan pura-pura bisu
Serukan semangat kita bersama alunan ombak semerbak dan camar liar
Kita adalah aset bangsa, bagai tongkang perdamaian tak tersalurkan
Hanya kuasa dan kebesaran Tuhan yang mampu mencabut kutuk penjarah
Bersihkan bangsa laksana jala tongkang yang membahana bertabur asa




Ironi pelaut

Tarian ombak serapahkan amarah disertai serpihan amukan patra
Angin laut hari ini terasa panas karena menghembuskan iri dengki berakar kuat
Ikan kami berbau busuk sebusuk hasil pemilihan kail pangkat kemarin
Sampan terkulai dayung tergeletak di bibir pantai seperti tinja Arok.
Adil, imbang dan rata sudah tak terasa, murah menerpa terjual begitu saja

Jalaku sudah susah menjaring kata, tapi tengkulak membuka harga semaunya
Kail ini penat menancap di ufuk kalimat manis, tapi dia tak melihat mahakarya
Tengkulak-tengkulak berbaju baik berhati picik
Tongkolku dinilai nol
Tunaku dinilai barang sisa
Teriku dibilang basi
Mata kalian buta, hatimu buram bisu biru berbangkai basah
Kujual ke pasar tak mahal harga dipancar
Haaah,..
Kenapa manis tak kuteguk seperti dulu?
Aku bodoh.
Aku kemana?
Kini pantai memasir, laut berair, langit berawan, angin berhembus, api menghangus dan apa?
Ayam berkokok, anjing menggonggong, hutan memohon, bukit menggunung, dan baaahh,..!!
Semuanya masih berkelakar onar tanpa sesal,
...Tapi aku tidak.
 



Dodasi Bodong

Tangga karma menanjak ke angkasa di ufuk kebajikan
Telur mati menumpahkan sesal tajam menampar jiwa tanpa ampun
Mengapa mujur mundur mengalur menyulur ajur kasur takur?
Mengapa untung buntung membusung glundung membumbung?

Aku tak terima dengan keadaan ini
Aku muak pada orang-orang pongah berlagak sastrawan busuk binal itu
Mampukah mereka menghargai karya sebaik Ayodya
Topeng coreng tak bertuan bodoh keji mengaku teliti penuh apresiasi

Bohong,..
Bodong,..
Kosong,..

Mata kalian hanya melek sebelah
Tidak pernah mengerti mahakarya dan pancasatya
Busuk mambu kasut biduk matamu buta.
Lihatlah karyaku jangan memuji orang dibalik tangisku
Kau dodasi sastrawan bodoh, seharusnya AKU.
Kamu dodasi sastrawan borok, kudunya AKU.
Dirimu dodasi sastrawan bodong, selayaknya kan AKU.
Kowe DODASI BOSOK, aku harusnya aku kudunya aku selayaknya aku, BUKAN dia!



Sarakata Sianida

Sepercik sianida merambat diantara jemari tanganku di kamar gelap itu
Bergulung film kucel hitam bersimpuh kecut minta dicuci kemari
Revanol, ethanol, alkohol atau apalah aku tak kan peduli
Sesosok foto membuncah dari klise yang disapu penasaran
Tiga wajah, dua persaingan dan satu pemenang.
Sangat menyakitkan.

Porselen kubanting
Aku kecewa atas marakarma kasasi sastra yang tak jelas
Terima hasil traumapun mijil dari jendela kerikil mungil
Aroma kekelahan begitu menyengat, aku larut dalam sianidaku sendiri
Aku minum saja sisanya dan kukatakan
Marasaya katatrana wahai dunia, sarakatana mantrai kami.!!
Basi kalian.
 


Sangsaka Mulai Ternoda

Pekikan masa lalu masih nampak jelas di kelopak mata ini
Tetesan darah merah membasahi seantero jagad juga masih nyata teringat
Dan kini bambu runcing telah jadi seruling, senapan telah jadi barang kelampauan
Kita punya sangsaka,.... ya sangsaka yang berkibar itu!

Tetapi mengapa segerombolan curut mengitari sangsakaku?
Mengapa tawa mereka amat riang mengusik telingaku?
Oh,..sudah jelas sekarang!
Kalian para punggawa picik yang merampok kami minggu ini
Itu para mafia yang berpesta pora di atas aliran keringat kami
Sungguh bodongnya bangsaku, yang menindas tapi tak tahu malu.

Kata bapakku, dendam itu tak baik disimpan. Kalau begitu mengapa tak kita balaskan?
Mendengar jawabku pelototan bapak diringi tamparan kejam bersarang di bawah mataku
Tetapi lihatlah, Pak.
Pantaskah kita tak membalas kesumat ini pada pemimpin sundal yang tak tau diri?
Pantaskah kita pangku tangan gemetar ini padahal mereka tumpuk deposito dibawah dasi?
Rasanya tidak, Pak. Saat sangsakaku berkibar ku tak mau lihat curut-curut itu!
Saatnya kucabut Monas tuk kuhempaskan pada kepala botak peminpin tak berotak itu
Ya, benar kan, Pak.

Bila tanah timur memuntahkan sungai emas sampai kaki Jaya Wijaya
Bukankah kita boleh mencicipi barang seklumit rasa muntahannya
Tetapi kulit hitam itu diusir dari rumah megah dan tak pernah diurus departemen khusus
Pabrik raksasa berlabel Freeport, ternyata masih berdiri tegak dan kokoh disana
Para penampung muntahan tanah timur yang tak boleh kita jamah
Masih gagah bertolak pinggang di barekade terdepan
Perut hitam lapar menbuntal segumpal angan disamping gerbang besar selamat datang
Angan yang memimpikan bangku, buku dan sesuap nasi ceceran tentara
Anak negeri yang dihajar zaman dan dinistakan para konglomerat sasar

Sangsakaku bermahligai bercak, Sangsakaku berwarna cokelat lumpur pasar
Ironi malang para pejuang yang tak pernah dibayar mahar yang mahal
Malah diganjar pendustaan transparan bak serigala hutan kelaparan
Kita tak pernah sadar arti kemerdekaan, kita bangga makan daging sesama
Busuknya Indonesia,...
Busuknya Indonesia,...
Hanya kesucianmu wahai Mahadaya yang mampu singkap kabut malang ini
Bersama lantunan nada sumbang “Syukur” yang tak berarti.
(Nanang, 24 Oktober 2014 Kebentur tugas PKn)

1 komentar: