Suka-suka
Saku
Selembar, dua lembar, delapan lembar, lima belas
lembar
Pedangnya masih lurus, kumisnya masih menjelujur
kaku
Yang dua ini masih saja dipanggil pangeran dan
bersorban
Tetapi impianku punya proklamator mengapa tak pernah
kesampaian
Tetap saja Oto Iskandar yang merajai sakuku
Aku mau Pak Karno hadir ditemani Pak Hatta yang ada
disini bukan pahlawan yang itu
Aku ingin memegang kemerahan yang menjanjikan itu
Tetapi apa daya dan kuatku aku bukan direktur
perusahaan
Juga bukan pejabat pemberani yang menelan pasir dan
besi
Tetapi apakah aku tidak boleh punya proklamator
sendiri
Sampai pusing aku berlari kesana kemari mondar sana
mandir sini
Untuk nasi basi kiriman Pak Menteri dan sebakul batu
yang disuruh membuat jembatan pagi
Aku takut Pak, sudahlah aku pasrah saja
Telanlah kami karena uangku memang jatah lebih dari
iblis dalam peti
Kasih
Meradang pada Sebilah Pedang
Pesanmu adalah menjaga Kyai Lawu tetap mandi sumur
tujuh ditemani asap dupa kala
Derik lirih dan gemericik kerik di gagang keris itu
adalah tanda kejayaanmu
Sambil kurengkuh perutku yang busung karena ulahmu,
Kusapa dia dengan siraman lembut dan wangi dupa
setiap rajaraya bertahta
Darah yang tumpah memang tak mugkin kau tampung lagi
Seratus prajurit yang mampus tak pernah bisa kau
tebus
Namun seteguk darah dari bilah pedangmu telah
membayar pertempuran maha kelam
Panjimu pulang dengan tunggul berkibar nanar penuh
pancaran kemenangan
Sampai kusambut panglimaku dengan senyum ikhlas
tanpa belas
Namun sorot matamu picing mengisyaratkan penolakan
kasar
Anehkah dengan perutku yang besar?
Sebelum perang, bukankah mereka telah kau tanam
padaku tepat dibalik pusar?
Kutahu kau satriya pilih tanding yang berbudi tinggi
berakhlak suci
Tapi istrimu bukanlah pesong layaknya yang kau
timpakan itu
Martabatku masih melekat kuat dibalik kain pembalut
dada yang nyata
Tetapi mengapa kau ragukan kesetiaanku?,...
Mengapa kau tampik bahwa bocah ini adalah buahmu?
Sampai hati kau wahai satriya berhati labu
Menumpahkan ludira seorang ibu pembawa trah
keturunanmu
Tumpah ruah oleh pedang bisu bekas pertempuran
kelabu
Sungguh nirwana menolakmu, bumi mencerca lakumu,
langit mengutuk atasmu
Kau sungguh bukan suamiku.
Raja Tak
Bertaring Lagi
Gamang
belantara disusup remang ketika rajaraya sirna
Sirna
bukan musnah tak kembali, tetapi bakal bertengger lagi esok hari
Menilik
sorot mata tajam dibalik rerimbunan dibasuh tetes liur tanda kelaparan
Menetes,,
menetes,..tetes
Makin
deras ia menetes dan makin bancar bak air bah mendera
Auman
menggelegar di seantero pelosok rimba menciutkan nyali setiap mangsa
Sesayat
luka telah didera pada pohon Kina tanpa dosa tanda lampiasan perut hampa
Gagak
dan dara buyar menggelepar terusik ulah sang pemangsa ganas itu
Semut
tak mampu menggumam, rayap tak kuasa bersyair, tikus tak bisa berkata
Karena
takut nyawa akan meninggalkan tubuh tanpa bulu tanpa ragu
Beringas
cantas melompat dari semak ranggas mengancam kami
Siapa
yang akan menolong kami? Apakah kami akan mati malam ini?
Rasa
takut memucuk di ulu hati, ngeri mendarah basah mendagingi api
Kami
telungkup di balik misteri maut pasi
...
Ketakutan
kandas benam tercekik pekik cekikik pipit manis
Belibis
ceriwis disanjung desis lirih si jangkrik lurik
Raja
kami tak kan mengunyah kami
Dia
tak sekuat dulu lagi
Dia
bukan pengoyak rantai makanan lagi
Ompong
melompong tinggal gusi
Hahaha,..
akankah kau jadi perumput, Gusti?...
Perumput
mirip domba dungu berdasi
Sungguh
ironi basi, kau raja maut yang tak bertaring lagi
Maaf
bila mangsamu kini berani karena wibawamu sudah mati
Mati,..mati,..mati
Sapi Berkrama
Sapi adalah binatang bertanduk yang selalu tunduk
Tunduk pada cambuk lusuh petani bercaping lusuh
Mengabdi menarik bajak dikeberkahan hamparan ladang
Menghamburkan liur tanda semangatnya tiada udzur
Sapi adalah putih, seputih gumpalan susu yang
disandangnya
Putih mengisyaratkan sucinya niat dan kejujuran
nuraninya
Berkelakar lapar ketika petani menyantap bekal
Mendengus kasar ketika gerombolan lalat menyambar pusar
Sapi adalah binatang suci
Sesuci hati nuraninya yang mengalirkan rona Mahayana
Pencerah umat penurut kejayaan Dewata Hyang
Mendharmakan diri dalam lumpur, namun mencuatkan kasih
nan luhur
Sapi adalah hidung tertindik tali kekang
Yang selalu menurut kemanapun tali dirancang
Meronta tiada daya karena telah dicerca
Lari tak bisa dan hanya menurut dan menurut saja
Sapi, oh sapi
Kasihan sapi.
Puisi deskriptif
saat Apus. 2 Desember 2014
Siapa Aku?
Siapa aku?
Orang yang hari ini menyapamu dengan wajah sayu dan
lugu
Mata yang dingin dan penuh tanda tanya bisu kadang
buntu
Tangan yang menjabatmu pagi ini dengan seratus
semangat
Kaki yang menendang pantat tetapi hanya agar kau
hangat
Siapa aku?
Yang sore ini bingung termenung di persimpangan gang
kecil
Makhluk yang berwajah kumal karena seharian penuh
cuma bawa sebotol air mineral
Yang biasanya hanya berkeliaran di sekitar riuhnya
orang tanpa ada misi yang pasti
Manusia yang kau sebut teman dan kau percayai atas
segala keluhan
Siapa aku?
Sosok yang malam itu menyelinap ke kamarmu, melompat
lewat ventilasi penuh debu
Si usil yang kau pukul dan lempari buku padahal
datang karena undanganmu
Bengal yang sebenarnya jujur tiada udzur di
sanubarinya
Kini mulai berubah karena gesekan realita fana yang
mempesonanya
Siapa aku?
Yang kata temanku dibilang mulai berubah jadi hantu
Orang yang dulu lugu ini sudah jadi orang baru
Cacian saat itu membuat diri ini bisa berdiri
Kau akan sadar ketika mungkin
Esok pagi ku tak disini....
Bukan MATI, tetapi pakai dasi dan jadi uswah di
negeri ini.
Tangan
Hampa
Dari uluran pertama terhambur kesemuan
dan nuansa sayu
Dijamah kehampaan sembari disayat
ketakutan
Dari lorong-lorong kejam di ujung jalan
itu
Aku, kau, dia, mereka, kami dan kita
adalah sama
Aku, kau, dia, mereka, kami dan kita
adalah satu
Tangan ini penuh dengan aroma kebencian
saat kujejaki lajur kota mati
Tanganmu terlihat sempurna lagi rapi
waktu kau hadir disampingku
Tangannya seperti membawa gada besi
penuh amarah dan keangkuhan
Tapi,..
Tanganku, tanganmu, tangannya dan tangan
mereka adalah sama
Tanganku, tanganmu, tangannya dan tangan
mereka adalah satu
Hari ini aku sadar, bangun serta
menyeruak dari bilik-bilik kesengsaraan
Aku mengerti betapa hidup ini telah
dijarah tangan-tangan besar dari kursi disana
Nikmatku telah dihisap mereka yang
berdasi dan berkantong tebal berotak bebal
Tikus tanah, tikus got, tikus putih dan
tikus-tikus busuk itu
Menjijikkan tapi berlagak sopan anggun
penuh harapan
Tahukah kau akibat ulah mereka?
Tanganku, tangannya, tangan kami dan
tangan kita kini sirna
Tanganku, tangannya, tangan kami dan
tangan kita kini hampa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar