Kamis, 12 Februari 2015

Apresiasi Puisi Sutardji Calsoum Bachri



Kiblat Sutardji Memanterai Kiblat Kita
dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak
Oleh : Nanang Hadi Sucipto
Sutardji Calsoum Bachri, penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau, 24 Juni 1943. Seorang tokoh yang tidak akan pernah cukup berpuluh buku untuk menggambarkannya. Sang revolusioner sejati yang berani menggebrak dunia perpuisian Indonesia dengan warna yang benar-benar baru. Sutardji dengan tenangnya memutar kiblat perpuisian kita dengan kiblat baru yang bebas dan benar-benar lepas dari ikatan lama. Sebagaimana kita ketahui bahwa puisi lama itu terikat oleh sajak, rima, irama dan sebagainya. Namun Sutardji menunjukkan eksistensinya dengan keluar dan lepas dari ikatan itu.
Satu hal yang wajib disoroti ialah beliau pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak, pernah diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan puisinya di Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai pertemuan Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam, serta pada tahun 1997 Sutardji membaca puisi di Festival Puisi International Medellin, Columbia (wishwondersurprise.blogspot.com). Ini semua juga berkat “O Amuk Kapak”. Coba kita tengok keajaiban “O Amuk Kapak” lewat salah satu puisi yang berjudul “Mantera” berikut ini.
 
 Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mangasapi duka

puah!
kau jadi Kau
Kasihku

Lihatlah betapa setiap baris puisi tersebut menyimpan misterinya masing-masing. Mulai dari kombinasi angka-angka yang menunjukkan jumlah suatu hal, lalu munculnya mawar, sayap merpati, gunung, menyan yang begitu misterius. Sesuai dengan judulnya puisi tersebut lebih mirip dengan sebaris mantera. Inilah kehebatan Sutardji yang menjadi karakter tersendiri, bahkan langkahnya ini mampu menggiring angkatan lama baik Pujangga Baru, 45, 50-an, 66 menuju arus baru yakni angkatan kontemporer atau dikenal pula sebagai angkatan sastra “mbeling”. Sebenarnya penggerak angkatan ini bukan Sutardji seorang tetapi ada beberapa penyair lain. Namun keberadaan Sutardji yang paling memberi warna di angkatan ini.
Puisi-puisi Sutardji tidak hanya memilih jalurnya sendiri, tetapi juga sangat tegas dan berani dalam memunculkan ungkapan. Karena Sutardji ingin menghilangkan paradigma bahwa puisi yang berestetika tinggi itu adalah yang menggunakan banyak ungkapan dan sulit dimaknai sebagian orang. Beliau ingin mencetuskan bahwa kata yang disuguhkan dalam puisi memanglah makna sebenarnya dan itulah realitas dari puisi tersebut. Inilah faktor penyebab puisi-puisi Sutardji menggunakan susunan kata atau kalimat yang cukup tegas dan sederhana namun ada misteri di dalamnya. Misteri yang sangat unik dan membuat siapa pun ingin menelisiknya.
Puisi Sutardji juga begitu berani memunculkan kata-kata tabu atau kata yang dianggap kasar oleh masyarakat. Seperti yang tertuang dalam potongan puisi beliau berikut ini.
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut  (
Gajah Semut)
***
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu
(Satu)
***
aku sedih
kau jadi taik  
daging
kau kawan di bumi di tanah di resah di babi babi (Daging)
***
Beberapa puisi tersebut cukup mewakili betapa Sutardji sangat berani memainkan kata di puisinya. Bahkan kata yang kasar pun terdengar lazim di telinga. Itulah kekuatan puisi beliau yang memang mampu memanterai benak kita sehingga semuanya seperti mengalir begitu saja di kepala. Beberapa bukti mantera lainnya termaktub dalam puisi berikut.
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O.... (Puisi “O”)
***
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zagezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zagezegeze aahh....!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu (Potongan puisi “Luka”)
***
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi
(Puisi ”Sepisaupi”)
***
Alangkah tercengangnya ketika baru membaca barisan kata karya Sutardji tersebut. Apakah itu disebut puisi? Pasti itu pertanyaan yang muncul kali pertama di otak kita. Tetapi Sutardji akan dengan tenang menjawab itu memang puisi dan seperti itulah seharusnya puisi.
Bila kita telisik sejenak, puisi-puisi tersebut seperti kata berulang yang ditumpuk-tumpuk saja. Namun alangkah berartinya setelah kita coba menransfernya ke dalam realitas hidup serta mengombinasikannya dengan nilai yang tumbuh di masyarakat, maka akan kita temukan filosofi besar disana. Misal dalam puisi “O” diatas, kata duka, resah, ragu dan mau diulang beberapa kali. Lalu disertai kata kau, ku, kalian ini mengisyaratkan suatu perasaan rindu dan sedih yang menghampiri kita semua. Kita semua memiliki kerinduan, entah itu pada keluarga, teman atau mungkin juga pada Tuhan.
Inilah sekelumit bukti betapa misterius dan filosofisnya puisi-puisi Sutardji. Tidak salah lagi memang puisi Sutardji telah memanterai kita dan semua pembaca. Mantera itu mampu memutar kiblat puisi menuju langkah yang beliau ambil. Sungguh kita telah mengalir dalam kiblat ciptaan beliau dan akan terus mengalir hingga nanti puisi bertangkai di telapak Ilahi.




Daftar Rujukan :

Bachri, Sutardji Calsoum.1981.O Amuk Kapak.Jakarta:Sinar Harapan.

http:// wishwondersurprise.blogspot.com/ 2013/02/kumpulan-puisi-sutardji-calzoum-bachri.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar