Kiblat Sutardji
Memanterai Kiblat Kita
dalam Kumpulan Puisi O Amuk Kapak
Oleh
: Nanang Hadi Sucipto
Sutardji
Calsoum Bachri, penyair kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau, 24 Juni 1943. Seorang tokoh
yang tidak akan pernah cukup berpuluh buku untuk menggambarkannya. Sang
revolusioner sejati yang berani menggebrak dunia perpuisian Indonesia dengan
warna yang benar-benar baru. Sutardji dengan tenangnya memutar kiblat
perpuisian kita dengan kiblat baru yang bebas dan benar-benar lepas dari ikatan
lama. Sebagaimana kita ketahui bahwa puisi lama itu terikat oleh sajak, rima,
irama dan sebagainya. Namun Sutardji menunjukkan eksistensinya dengan keluar
dan lepas dari ikatan itu.
Satu hal yang
wajib disoroti ialah beliau
pernah diundang ke Pertemuan International Para Pelajar di Bagdad, Irak, pernah
diundang Menteri keuangan Malaysia, Dato Anwar Ibrahim, untuk membacakan
puisinya di Departemen Keuangan Malaysia, mengikuti berbagai pertemuan
Sastrawan ASEAN, Pertemuan Sastrawan Nusantara di Singapura, Malaysia, dan
Brunei Darussalam, serta pada tahun 1997 Sutardji membaca puisi di Festival
Puisi International Medellin, Columbia (wishwondersurprise.blogspot.com). Ini semua juga berkat “O Amuk Kapak”. Coba kita tengok
keajaiban “O Amuk Kapak” lewat salah satu puisi yang berjudul “Mantera” berikut
ini.
Mantera
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mangasapi duka
puah!
kau jadi Kau
Kasihku
Lihatlah betapa setiap baris puisi
tersebut menyimpan misterinya masing-masing. Mulai dari kombinasi angka-angka
yang menunjukkan jumlah suatu hal, lalu munculnya mawar, sayap merpati, gunung,
menyan yang begitu misterius. Sesuai dengan judulnya puisi tersebut lebih mirip
dengan sebaris mantera. Inilah kehebatan Sutardji yang menjadi karakter
tersendiri, bahkan langkahnya ini mampu menggiring angkatan lama baik Pujangga
Baru, 45, 50-an, 66 menuju arus baru yakni angkatan kontemporer atau dikenal
pula sebagai angkatan sastra “mbeling”. Sebenarnya penggerak angkatan ini bukan
Sutardji seorang tetapi ada beberapa penyair lain. Namun keberadaan Sutardji
yang paling memberi warna di angkatan ini.
Puisi-puisi Sutardji tidak hanya memilih
jalurnya sendiri, tetapi juga sangat tegas dan berani dalam memunculkan
ungkapan. Karena Sutardji ingin menghilangkan paradigma bahwa puisi yang
berestetika tinggi itu adalah yang menggunakan banyak ungkapan dan sulit
dimaknai sebagian orang. Beliau ingin mencetuskan bahwa kata yang disuguhkan
dalam puisi memanglah makna sebenarnya dan itulah realitas dari puisi tersebut.
Inilah faktor penyebab puisi-puisi Sutardji menggunakan susunan kata atau
kalimat yang cukup tegas dan sederhana namun ada misteri di dalamnya. Misteri
yang sangat unik dan membuat siapa pun ingin menelisiknya.
Puisi Sutardji juga begitu berani memunculkan kata-kata tabu atau kata yang
dianggap kasar oleh masyarakat. Seperti yang tertuang dalam potongan puisi
beliau berikut ini.
tujuh gajah
cemas
meniti jembut
serambut (Gajah Semut)
cemas
meniti jembut
serambut (Gajah Semut)
***
kalau kelaminmu belum bilang kelaminku
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu (Satu)
aku terjemahkan kelaminku ke dalam kelaminmu (Satu)
***
aku sedih
kau jadi taik
daging
kau kawan di bumi di tanah di resah di
babi babi (Daging)
***
Beberapa puisi tersebut cukup mewakili
betapa Sutardji sangat berani memainkan kata di puisinya. Bahkan kata yang
kasar pun terdengar lazim di telinga. Itulah kekuatan puisi beliau yang memang
mampu memanterai benak kita sehingga semuanya seperti mengalir begitu saja di
kepala. Beberapa bukti mantera lainnya termaktub dalam puisi berikut.
O
dukaku dukakau dukarisau dukakalian
dukangiau
resahku resahkau resahrisau resahbalau
resahkalian
raguku ragukau raguguru ragutahu
ragukalian
mauku maukau mautahu mausampai maukalian
maukenal maugapai
siasiaku siasiakau siasiasia siabalau
siarisau siakalian siasiasia
waswasku waswaskau waswaskalian
waswaswaswaswaswaswaswas
duhaiku duhaikau duhairindu duhaingilu
duhaikalian duhaisangsai
oku okau okosong orindu okalian obolong
orisau oKau O.... (Puisi “O”)
***
papaliko arukabazaku kodega zuzukalibu
tutukaliba dekodega zamzam lagotokoco
zukuzangga zagezegeze zukuzangga zege
zegeze zukuzangga zegezegeze zukuzang
ga zegezegeze zukuzangga zegezegeze zu
kuzangga zagezegeze aahh....!
nama nama kalian bebas
carilah tuhan semaumu (Potongan
puisi “Luka”)
***
SEPISAUPI
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi (Puisi ”Sepisaupi”)
sepisau luka sepisau duri
sepikul dosa sepukau sepi
sepisau duka serisau diri
sepisau sepi sepisau nyanyi (Puisi ”Sepisaupi”)
***
Alangkah tercengangnya ketika baru membaca barisan
kata karya Sutardji tersebut. Apakah itu disebut puisi? Pasti itu pertanyaan
yang muncul kali pertama di otak kita. Tetapi Sutardji akan dengan tenang
menjawab itu memang puisi dan seperti itulah seharusnya puisi.
Bila kita telisik sejenak, puisi-puisi tersebut
seperti kata berulang yang ditumpuk-tumpuk saja. Namun alangkah berartinya
setelah kita coba menransfernya ke dalam realitas hidup serta
mengombinasikannya dengan nilai yang tumbuh di masyarakat, maka akan kita
temukan filosofi besar disana. Misal dalam puisi “O” diatas, kata duka, resah,
ragu dan mau diulang beberapa kali. Lalu disertai kata kau, ku, kalian ini
mengisyaratkan suatu perasaan rindu dan sedih yang menghampiri kita semua. Kita
semua memiliki kerinduan, entah itu pada keluarga, teman atau mungkin juga pada
Tuhan.
Inilah sekelumit bukti betapa misterius dan
filosofisnya puisi-puisi Sutardji. Tidak salah lagi memang puisi Sutardji telah
memanterai kita dan semua pembaca. Mantera itu mampu memutar kiblat puisi
menuju langkah yang beliau ambil. Sungguh kita telah mengalir dalam kiblat
ciptaan beliau dan akan terus mengalir hingga nanti puisi bertangkai di telapak
Ilahi.
Daftar Rujukan :
Bachri, Sutardji
Calsoum.1981.O Amuk Kapak.Jakarta:Sinar
Harapan.
http:// wishwondersurprise.blogspot.com/
2013/02/kumpulan-puisi-sutardji-calzoum-bachri.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar